Masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 semestinya menjadi momen penting bagi DPR untuk menunjukkan keberpihakan nyata terhadap Masyarakat Adat. Namun, setelah 14 tahun RUU ini tak kunjung selesai.

Bersamaan itu juga Masyarakat Adat harus berhadapan dengan sejumlah tindakan kekerasan dan diskriminasi.

Prolegnas yang diusulkan DPR dan DPD RI menjadi awal dari komitmen konkret untuk segera mengesahkan RUU yang sangat dinanti oleh jutaan Masyarakat Adat di seluruh penjuru negeri.

“Kami berharap delapan Fraksi Partai Politik di DPR RI segera membahasanya pada tahun 2025,” ujar Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mewakili Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat.

Kasmita menyampaikan, ketiadaan payung hukum selama ini telah menciptakan ruang yang semakin memperparah ketidakadilan terhadap masyarakat adat.

Ia menilai kriminalisasi terhadap mereka semakin masif, dengan banyak kasus penangkapan hanya karena mereka berusaha mempertahankan tanah ulayat.

Sementara itu, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Syamsul Alam Agus menambahkan, tanah ulayat yang menjadi sumber kehidupan berbasis adat terus terampas oleh proyek-proyek besar tanpa persetujuan atau konsultasi yang layak, mengabaikan prinsip hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat.

Misalnya, kasus masyarakat adat O’Hongana Manyawa dari Maluku Utara, Masyarakat Adat Poco Leok di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lalu, ada juga kasus kriminalisasi Masyarakat Adat Nangahale dari Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Selain itu, RUU Masyarakat Adat ini adalah peluang untuk memperbaiki ketidakadilan ini. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR agar segera memenuhi janjinya untuk mengesahkan RUU ini menjadi undang-undang pada tahun 2025.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan pengesahan RUU masyarakat adat bukan sekadar menjadi tugas legislasi DPR, namun juga menjadi komitmen moral dan kewajiban negara untuk menghentikan segala bentuk ketidakadilan yang dialami masyarakat adat selama puluhan tahun.

DPR, Rukka melanjutkan, mesti menunjukkan keberpihakannya sebagai representasi masyarakat adat melalui langkah nyata demi keadilan, hak asasi manusia dan keberlangsungan hidup masyarakat adat.

“DPR harus memahami pengesahan RUU ini adalah upaya menegakkan keadilan bagi masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan,” kata Rukka.

DPR harus memahami bahwa pengesahan RUU ini bukan hanya soal menunaikan tugas legislasi, tetapi juga soal menegakkan keadilan bagi Masyarakat Adat yang selama ini terpinggirkan.

Dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, DPR juga dapat membuktikan komitmen Indonesia dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan iklim di mata dunia.