Dugaan Penipuan Konsumen Air Minum, Fauzan Lawyer Dorong Langkah Hukum Tegas
Dalam inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan tayang di kanal YouTube @KANGDEDIMULYADICHANNEL pada 22 Oktober 2025, tersingkap fakta yang mengguncang kepercayaan konsumen.
Dalam video berdurasi hampir tiga puluh menit itu, Dedi meninjau salah satu fasilitas produksi AQUA, merek air minum dalam kemasan yang selama puluhan tahun meneguhkan citra sebagai air murni dari sumber mata air pegunungan.
Namun di tengah dialognya dengan pihak pengelola, muncul pengakuan yang mengubah segalanya: air yang diolah dan dikemas di pabrik tersebut ternyata bersumber dari sumur bor, bukan dari mata air pegunungan seperti yang selama ini diklaim dalam iklan dan kemasan produk.
Video tersebut dengan cepat viral dan mengejutkan publik. Di kolom komentar, ratusan ribu warganet menyuarakan kekecewaan.
Selama ini, masyarakat percaya pada narasi “air pegunungan alami” yang melekat kuat dalam kesadaran kolektif konsumen Indonesia.
Namun tayangan sidak itu seakan membuka tabir yang lama disembunyikan: kemurnian yang dijual ternyata tidak sealamiah yang dijanjikan.
Bagi sebagian orang, hal ini mungkin tampak sekadar persoalan etika pemasaran. Namun dalam kacamata hukum, temuan tersebut dapat mengandung implikasi serius. Klaim yang menyesatkan tentang asal-usul produk merupakan pelanggaran fundamental terhadap hak konsumen atas kebenaran informasi — hak yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Pasal 4 undang-undang tersebut menegaskan, konsumen berhak memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang yang dikonsumsi. Ketika pelaku usaha menampilkan produk seolah berasal dari pegunungan padahal tidak, maka telah terjadi penyesatan informasi publik.
Lebih jauh, Pasal 10 UUPK melarang pelaku usaha memberikan keterangan yang menyesatkan terkait mutu, komposisi, dan asal-usul barang.
Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dijerat dengan Pasal 62 UUPK, yang mengancam pidana penjara hingga lima tahun atau denda hingga dua miliar rupiah.
Dari sisi hukum pidana, Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga dapat digunakan untuk menjerat pihak yang dengan sengaja menyiarkan kabar bohong untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain secara melawan hukum.
Bila terbukti bahwa klaim air pegunungan digunakan sebagai strategi pemasaran untuk mendongkrak penjualan, maka unsur delik pasal tersebut bisa terpenuhi.
https://www.instagram.com/reel/DQJ2ntNkmnO/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA==
Fauzan Lawyer, Managing Partner FRP Law Firm, termasuk yang paling vokal menyoroti kasus ini. Baginya, sidak yang dilakukan Dedi Mulyadi bukan sekadar momen viral, melainkan momentum penting untuk menguji sejauh mana kejujuran korporasi dihargai di negeri ini.
“Kami melihat indikasi pelanggaran hukum yang terang-benderang. Ketika sebuah merek besar membangun kepercayaan publik melalui iklan yang ternyata tidak sesuai fakta, itu bukan lagi urusan etika, tetapi dugaan pelanggaran pidana,” ujar Fauzan Lawyer.
Fauzan menegaskan, tindakan tersebut memenuhi unsur perbuatan melawan hukum (PMH) karena telah merugikan konsumen yang membeli produk berdasarkan informasi palsu.
Ia menilai sudah saatnya masyarakat tidak diam dan mengambil langkah hukum.
“Kami di FRP Law Firm siap mendampingi masyarakat yang hendak menempuh gugatan class action terhadap pihak produsen. Ini saatnya konsumen menegakkan haknya bukan hanya demi ganti rugi, tetapi demi menegakkan keadilan dan akuntabilitas korporasi,” tegas Fauzan Lawyer.
Tak berhenti di ranah perdata, Fauzan juga menyoroti aspek pidana. Ia menilai ada cukup alasan bagi aparat penegak hukum untuk membuka penyelidikan atas dugaan penipuan dan penyiaran informasi menyesatkan sebagaimana diatur dalam KUHP.
“Ini bukan perkara ringan. Jika penyidik serius, mereka bisa menggunakan kombinasi pasal dalam UUPK dan KUHP untuk menjerat pihak yang terbukti menipu publik. Kami mendorong masyarakat untuk segera membuat laporan polisi agar kasus ini tidak berhenti di ruang publik,” tutur Fauzan Lawyer.
Fauzan Lawyer juga mengkritik lemahnya pengawasan pemerintah terhadap industri air minum dalam kemasan yang selama ini tumbuh tanpa transparansi memadai.
Ia menyerukan agar Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta kementerian terkait turun tangan melakukan audit menyeluruh.
“Negara punya kewajiban untuk memastikan bahwa setiap tetes air yang dijual ke publik berasal dari sumber yang benar dan sesuai dengan yang diklaim di kemasan. Jika tidak, maka negara ikut abai terhadap hak masyarakat,” ujarnya.
Menurut Fauzan, kasus ini bisa menjadi preseden hukum nasional yang menandai era baru dalam perlindungan konsumen.
“Sudah waktunya pelaku usaha besar berhenti berlindung di balik kemasan dan narasi iklan. Publik tidak membeli mimpi, publik membeli kejujuran,” tegasnya.
Dalam perspektif hukum, pelanggaran informasi seperti ini tidak hanya berdampak pada reputasi perusahaan, tetapi juga membuka risiko sanksi administratif, gugatan perdata, dan pidana korporasi.
Secara administratif, izin produksi atau edar dapat ditinjau ulang. Secara perdata, gugatan ganti rugi bisa diajukan atas dasar perbuatan melawan hukum. Dan secara pidana, direksi atau pejabat perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban bila terbukti mengetahui dan membiarkan klaim palsu tersebut beredar.
Kasus ini mengajarkan satu hal penting: dalam bisnis modern, kepercayaan adalah aset hukum yang paling rapuh. Sekali rusak, tidak ada iklan yang mampu memulihkannya. Ketika publik membeli sebotol air, yang mereka bayar bukan hanya cairan bening di dalamnya, tetapi keyakinan bahwa produk itu jujur seperti yang dijanjikan.
Kini semua mata tertuju pada pemerintah, lembaga pengawas, dan aparat penegak hukum. Publik menanti langkah konkret bukan klarifikasi, tapi keadilan. Karena dalam hukum konsumen, kebohongan yang dibiarkan adalah bentuk kejahatan terhadap kepercayaan publik.
Dan seperti dikatakan Fauzan Lawyer, “Dalam negara hukum, setiap tetes air yang menipu harus dibayar dengan pertanggungjawaban.” Tutupnya.
